Syuro

Syuro (atau yang biasanya di Indonesia disebut juga dengan musyawarah), adalah sebuah proses yang dilakukan oleh sebuah majelis atau perkumpulan dari sebuah organisasi ataupun masyarakat yang anggotanya dipilih untuk menentukan keputusan atas suatu hal. Sebenarnya syuro sendiri bukanlah hal yang asing bagi masyarakat, khususnya di Indonesia, terutama yang beragama Islam, sehingga konsep syuro lebih dekat dengan tradisi politik dan sejarah Islam. Syuro ataupun musyawarah Karena ia telah menjadi bagian dari urusan hidup manusia dari masa ke masa, dari urusan rumah tangga sampai urusan pemerintahan. Jadi syuro telah turut mewarnai kehidupan ini dari generasi kuno hingga saat ini yang disebut sebagai generasi modern, terlepas dari persoalan haq atau bathil yang mereka bicarakan.

Sejarah

Syuro pada masa Kerajaan Saba’

Ratu Balqis, ratu dari Kerajaan Saba' mengadakan syuro karena adanya masalah penting berkenaan dengan sampainya surat dari Nabi Sulaiman yang meminta Balqis dan rakyatnya untuk masuk dalam Islam.[1] Kejadian ini dikisahkan dalam Al-Qur’an:[2]

“Berkata dia (Balqis): “Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak pernah memutuskan suatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis”. Mereka menjawab: “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang kamu perintahkan”.

Syuro pada masa Fir'aun

Raja Fir’aun dari Mesir Kuno, juga mempraktekkan syuro dalam menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam menghadapi suatu masalah yang ia sendiri tidak biesa menyelesaikannya. Firaun meminta masukan daripara pembesarnya, terutama dalam menghadapi Nabi Musa dan Bani Israil yang dianggapnya mengancam kedudukannya.[1] Syuro pada masa Fir'aun ini juga diceritakan dalam Al-Qur'an:[3]

“Fir’aun berkata kepada pembesar-pembesarnya yang berada di sekelilingnya: “Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai, ia hendak mengusir kamu dari negerimu sendiri dengan sihirnya, oleh karena itu apakah yang kamu anjurkan?”. Mereka menjawab: “Tundalah (urusan) dengan saudaranya, kirimkanlah ke seluruh negeri orang-orang yang akan mengumpulkan (ahli sihir), niscaya mereka akan mendatangkan semua ahli sihir yang pandai kepadamu”.

Syuro pada masa Kaum Quraisy

Di Jazirah Arab, terutama pada masa Quraisy - sebelum Islam datang - Bangsa Arab sebenarnya telah megenal konsep syuro itu sendiri. Dewan Syuro Quraisy saay itu dilakukan disebuah tempat yang diberinama, Darun Nadwah. Darun Nadwah sendiri adalah gedung tempat permusyawaratan milik Kaum Quraisy, pada masa Nabi Muhammad pada periode Mekkah, tempat ini sering menjadi tempat pertemuan mereka mencari mufakat untuk menghadapi Nabi Muhammad dan umat Islam. Dalam syuro Quiraisy ini sering membahas keinginan perlwanan terhadap Nabi Muhammad, sampai ada usulan bahwa Muhammad harus dipenjarakan, diusir, bahkan dibunuh. Salah satu rencanya yang pernah diputuskan dalam dewan syuro ini adalah, dipilih wakil dari setiap kabilah, seorang pemuda yang berani, kemudian diberikan sebilah pedang dan secara serempak kemudian menyerang Muhammad. Dengan demikian Bani Hasyim (Keluarga Muhammad) tidak akan mampu membalas dan hanya akan meminta diyat, namun rencana ini tidak berhasil membunuh Muhammad.[4] Usul terakhir yang diterima oleh majelis itu, juga tercatan dalam Al-Qur'an:[5]

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baiknya pembalas tipu daya”.

Syuro pada masa Muhammad dan Khulafaur Rasyidin

Syuro pada masa kelahiran Islam atau masa awal kemunculan Islam juga ada dalam Al-Qur'an:[6][7]

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabbnya dan mendirikan sholat sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.

Syuro dalam Islam punya kepentingan untuk mengambil keputusan yang berdasarkan pada kebaikan bersama dan menghindari kekeliruan yang berpotensi merugikan umat. Syuro ditujukan agar seluruh potensi umat dapat tersalurkan dalam syuro, hal ini dilakukan agar tidak ada kemunculan seorang pemimin yang diktator dan sistem yang otoriter, salah satunya khalifah yang pernah membentuk Dewan Syuro adalah Umar bin Khattab.[8] Umar bin Khattab pernah berkata tentang penolakannya terhadap pemimpin diktator:

“Barang siapa yang menyeru kepada kepemimpinan dirinya sendiri atau untuk orang lain tanpa musyawarah dengan kaum muslimin, maka tidak halal bagimu sekalian melainkan membunuhnya.”[4]

Syuro dalam Politik Islam

Syuro di dalam Islam dan demokrasi dalam bentuk aktivitas sebenarnya hampir sama, karena mereka sama-sama mengadakan pembicaraan bersama untuk mengambil keputusan tertentu. yang didasari atas konsensus bersama. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut:[7][9]

Hal-Hal yang Dibicarakan dalam Majelis

Syuro dalam Islam tidak boleh menetapkan hal-hal yang bertentangan dengan ketetapan Allah. Hal-hal yang ditetapkan adalah masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, perang, dan kebutuhan hidup lainnya yang belum atau tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits. Lebih lanjut ad-Darimi meriwayatkan dari Maimun bin Mahran menuturkan tentang perilaku Abu Bakar dalam hal ini, bahwasanya apabila terjadi sesuatu perkara, ia mencari hukumnya dalam Al-Qur’an. Bila tidak ada ia mencarinya dalam Hadits, dan bila masih tidak ditemukan lagi, ia mencari tokoh-tokoh ahli dan mengajaknya bermusyawarah.

Keanggotaan

Orang-orang yang telah menguasai aspek-aspek musyawarah, lebih dari itu mereka adalah orang-orang yang dipercayai ummat tentang ilmu, ketaqwaan, amanah, dan ketepatan saran mereka. Mereka adalah orang-orang paling utama dikalangan umat, yang paling ahli dalam keagamaan, dan tentunya dipercaya oleh masyarakat bahwa orang-orang tersebut sangat kecil kemungkinannya untuk berbuat maksiat dan lalim.

Pengambilan Keputusan

Berbeda dari demokrasi barat, syuro tidak menghendaki suara mayoritas, melainkan harus keseluruhan anggota majelis dan aspirasi yang diwakilinya. Jika masih ada anggota yang merasa keberatan dengan keputusan mayoritas, maka berarti mufakat belum tercapai, jika hal ini terjadi maka kewajiban pemimpinlah untuk bertindak tegas, mengkolaborasikan pendapat mayoritas dan minoritas meskipun harus menyisihkan sebagian pendapat masing-masing.

Referensi

  1. ^ a b Majalah An-Nabaa’, Edisi 7/Thn. I – 1993 hal. 22
  2. ^ Al-Qur'an. Surat An-Naml: Ayat 32-33
  3. ^ Al-Qur'an. Surat Asy-Syu’ara: Ayat 34-37
  4. ^ a b Majalah An-Nabaa’, Edisi 7/Thn. I – 1993 hal. 23
  5. ^ Al-Qur'an. Surat Al-Anfal: Ayat 30
  6. ^ Al- Qur'an. Surat Asy-Syu'ara: Ayat 38
  7. ^ a b "Syura dalam Pandangan Islam dan Demokrasi | Muslim.Or.Id | Muslim.Or.Id". Muslim.Or.Id - Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah (dalam bahasa Inggris). 2011-04-28. Diakses tanggal 2017-12-07. 
  8. ^ Gunadi, Hendri. "Pembentukan Dewan Syuro Oleh Khalifah Umar bin Khathab" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-06. Diakses tanggal 2017-12-07. 
  9. ^ Majalah An-Nabaa’, Edisi 7/Thn. I – 1993 hal. 24